WELCOME!

Selamat datang para pengunjung , semoga blog ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi, dan ini sebagai parameter saya untuk terus belajar menulis dan menulis

Kamis, 31 Januari 2008

Kangeeeeen



Duh ga terasa 2 bulan lamanya sudah berpisah sama babyku. Kangeeeeeeen ......
Yang ngeselin cuti kemarin suamiku ga nenteng (emang koper he he) si kecil. Katanya repot inilah itulah, maklum emang begitulah kebanyakan cowok paling susah kalau bepergian disuruh bawa macem-macem. "Tangan itu dikasi Tuhan cuma dua, artinya ga boleh bawa barang lebih dari dua", begitu dia selalu berkilah. Apalagi ini suruh mbawa bayi 1 tahun dari Berau ke Jogja, 2 kali ganti pesawat.

Memang berat berpisah sama si kecil, apalagi lagi lucu-lucunya bisa jalan dan belajar ngoceh. Tapi bagaimana lagi disanding di Jogja kasihan juga tidak terawat dengan baik biarpun ada pembantu, tahu sendiri kesibukan Residen Obgyn diri sendiri aja ga terurus. Di Kalimantan kan ada bapaknya dan nenek yang ngurus jadi agak tenang pikiran ini. Kadang suka ngerasa bersalah juga sih. Doakan aja ya nak ibumu lancar kuliahnya biar kita bisa kumpul lagi.

Untungnya juga anakku ga rewelan (tau kali ya papa mamanya sibuk jadi pasrah aja dia) jadi manut-manut aja dia waktu dibawa pulang ke Kalimantan sama mamaku. Padahal baru 2 hari ketemu dan adaptasi, itupun pake acara mewek karena takut waktu pertama ketemu.

Terakhir kemarin dapat telepon dari mama si kecil udah bisa jalan pas di hari ultahnya 6 Januari lalu "Oh iya met ultah ya say mwuaaaah sun jauh dari mama..." Walaupun kata mama, "jalannya masih kaya drunken master" alias pendekar mabok he he he. Giginya juga dah tumbuh lagi jadi empat, dah bisa manggil mah mah (entah emang maksudnya manggil gue ???). Iya iya naaaak mama di sini. Cepat besar ya jadi anak yang soleh dan pintar biar entar bisa njagain mamamu. Mwuuaaaaaah....... big warm kiss for you my sweetheart

Selasa, 29 Januari 2008

mola hidatidosa

Diagnosis dan manajemen mola hidatidosa

Dr.Diyah Metta Ningrum
Dr. Ova Emilia, SpOG
Bagian Obstetri dan Ginekologi RS dr. Sardjito
Yogyakarta

ABSTRAK
Latar Belakang. Mola Hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PTG), yang meliputi berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni mola hidatidosa parsial dan komplit, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site trophoblastic tumors.
Tujuan. Diperlukan pengetahuan mengenai faktor resiko, tanda dan gejala klinis untuk menegakkan diagnosis mola hidatidosa sehingga dapat dilakukan manajemen yang tepat serta memperkirakan prognosis penyakit ini.
Bahan dan cara. Studi kepustakaan
Hasil. Penegakan diagnosis mola hidatidosa selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik juga dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, ultrasonografi dan histologis. Pemeriksaan ultrasonografi dengan resolusi yang semakin tinggi dapat membantu menegakkan diagnosis mola secara dini.
Simpulan. Penegakkan diagnosis mola dan penatalaksanaannya tidak cukup hanya sampai pada evakuasi mola saja, namun tetap diperlukan monitoring yang kontinyu untuk mengetahui prognosis penyakit ini.
Kata kunci: diagnosis, manajemen, mola hidatidosa

Pendahuluan

Mola Hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PTG), yang meliputi berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni mola hidatidosa parsial dan komplet, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site trophoblastic tumors. Para ahli ginekologi dan onkologi sependapat untuk mempertimbangkan kondisi ini sebagai kemungkinan terjadinya keganasan, dengan mola hidatidosa berprognosis jinak, dan koriokarsinoma yang ganas, sedangkan mola hidatidosa invasif sebagai borderline keganasan. 1
Insidensi mola hidatidosa dilaporkan Moore dkk (2005) pada bagian barat Amerika Serikat, terjadi 1 kejadian kehamilan mola dari 1000-1500 kehamilan. Mola hidatidosa ditemukan kurang lebih 1 dari 600 kasus abortus medisinalis. Di Asia insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, dengan Jepang yang melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian kehamilan mola dari 1000 kehamilan. Di negara-negara Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi yakni 1:120 kehamilan.1
Penanganan mola hidatidosa tidak terbatas pada evakuasi kehamilan mola saja, tetapi juga membutuhkan penanganan lebih lanjut berupa monitoring untuk memastikan prognosis penyakit tersebut.

Definisi
Mola hidatidosa adalah merupakan kehamilan yang dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah. 1,2
Mola hidatidosa terbagi atas 2 kategori. Yakni komplet mola hidatidosa dan parsial mola hidatidosa. Mola hidatidosa komplet tidak berisi jaringan fetus. 90 % biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% 46,XY. Semua kromosom berasal dari paternal. Ovum yang tidak bernukleus mengalami fertilisasi oleh sperma haploid yang kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi oleh 2 sperma. Pada mola yang komplet, vili khoriales memiliki ciri seperti buah angur,dan terdapat tropoblastik hiperplasia.
Pada mola hidatidosa parsial terdapat jaringan fetus. Eritrosit fetus dan pembuluh darah di vili khorialis sering didapatkan. Vili khorialis terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk dengan stroma tropoblastik yang menonjol dan berkelok-kelok.

Faktor resiko
Mola hidatidosa sering didapatkan pada wanita usia reproduktif. Wanita pada remaja awal atau usia perimenopausal amat sangat beresiko. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki resiko 2 kali lipat. Wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko 7 kali dibanding wanita yang lebih muda. Paritas tidak mempengaruhi faktor resiko ini.1,3

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang komplet terdapat tanda dan gejala klasik yakni:
(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan kulit yang hangat.
Kebanyakan mola sudah dapat dideteksi lebih awal pada trimester awal sebelum terjadi onset gejala klasik tersebut, akibat terdapatnya alat penunjang USG yang beresolusi tinggi.
Gejala mola parsial tidak sama seperti komplet mola. Penderita biasanya hanya mengeluhkan gejala seperti terjadinya abortus inkomplet atau missed abortion, seperti adanya perdarahan vaginal dan tidak adanya denyut jantung janin.
Dari pemeriksaan fisik pada kehamilan mola komplet didapatkan umur kehamilan yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif dan tertahannya darah dalam uterus. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia. Kejadian kejang jarang didapatkan. Kista theca lutein, yakni kista ovarii yang diameternya berukuran > 6 cm yang diikuti oleh pembesaran ovarium. Kista ini tidak selalu dapat teraba pada pemeriksaan bimanual melainkan hanya dapat diidentifikasi dengan USG. Kista ini berkembang sebagai respon terhadap tingginya kadar beta HCG dan akan langsung regresi bila mola telah dievakuasi.1,3,4
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain kadar beta HCG yang normal. Bila didapatkan > 100.000 mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan trofoblastik yang banyak sekali dan kecurigaan terhadap kehamilan mola harus disingkirkan. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan terjadinya koagulopati.sehingga pemeriksaan darah lengkap dan tes koagulasi dilakukan. Dilakukan juga pemeriksaan tes fungsi hati, BUN dan kreatinin serta thyroxin dan serum inhibin A dan activin A.
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar untuk mengidentifikasi kehamilan mola. Dari gambaran USG tampak gambaran badai salju (snowstorm) yang mengindikasikan vili khoriales yang hidropik. Dengan resolusi yang tinggi didapatkan massa intra uterin yang kompleks dengan banyak kista yang kecil-kecil. Bila telah ditegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan rontgen pulmo harus dilakukan karena paru - paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG.
Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat jaringan fetus, terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau 46,XY. Sebagai tambahan pada mola komplet memperlihatkan peningkatan faktor pertumbuhan, termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2, dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus.


Penatalaksanaan
Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila terjadi anemia, koreksi koagulopati dan hipertensi diobati. Evakuasi uterus dilakukan dengan dilatasi dan kuretase penting dilakukan. Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan karena resiko peningkatan perdarahan dan sekuele malignansi. Pada saat dilatasi infus oksitosin harus segera dipasang dan dilanjutkan pasca evakuasi untuk mengurangi kecenderungan perdarahan. Pemberian uterotonika seperti metergin atau hemabate juga dapat diberikan.
Respiratori distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal ini terjadi karena embolisasi dari trofoblastik, anemia yang menyebabkan CHF, dan iatrogenik overload. Distres harus segera ditangani dengan ventilator.
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6 minggu dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar HCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim(AKDR) tidak dianjurkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi karena terdapat resiko perforasi rahim jika masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal.1,3
Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan HCG yang dilakukan secara berkala sampai didapatkan kadar HCG normal selama 6 bulan. Kadar HCG diperiksa pasca 48 jam evakuasi mola, kemudian di monitor setiap minggu sampai dengan terdeteksi dalam 3 minggu berturut-turut. Kemudian diikuti dengan monitoring tiap bulan sampai dengan tdak terdeteksi dalam 6 bulan berturut – turut. Waktu rata-rata yang dibutuhkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi setelah evakuasi kehamilan komplit maupun parsial adalah 9 – 11 minggu. Tinjauan kepustakaan lain menyebutkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar normal sekitar 6-9 bulan. Setelah monitoring selesai maka pasien dapat periksa HCG tanpa terikat oleh waktu.

Prognosis
Hampir kira-kira 20% wanita dengan kehamilan mola komplet berkembang menjadi penyakit trofoblastik ganas. Penyakit trofoblas ganas saat ini 100% dapat diobati. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan seperti umur penderita yang tua, kadar hCG yang tinggi (>100.000mIU/mL),eclamsia,hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Kebanyakan faktor-faktor ini muncul sebagai akibat dari jumlah proliferasi trofoblas. Untuk memprediksikan perkembangan mola hidatidosa menjadi PTG masih cukup sulit dan keputusan terapi sebaiknya tidak hanya berdasarkan ada atau tidaknya faktor-faktor risiko ini.
Risiko terjadinya rekurensi adalah sangat sekitar 1-2%. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola, maka risiko rekurensinya menjadi 1/6,5 sampai 1/17,5 .

Kesimpulan
Mola hidatidosa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu mola hidatidosa komplet dan parsial berdasarkan sitogenik dan morfologi histologi. Perbedaan ini akan memberikan konsekuensi perbedaan pada gejala dan tanda klinis serta manajemennya.

Daftar Pustaka
1. Moore,Lisa,MD, 2005, Hydatidiform Mole, available at www.e-medicine.com
2. Fox,Harold, 1997, Gestational Trophoblastic disease, available at www.bmj.com
3. The royal colegge of obstetrician and gynaecologists, 1999, a Guidline manajemen trophoblastic neoplasia, available at www.RCOG.com
4. Berkowitz, Ross, 1996, Chorionic tumors, The New England Journal of medicine 1996:335:1740 – 1748 , available at www.nejm.com

Senin, 28 Januari 2008

sulproston mencegah perdarahan post partum

Pemberian Sulproston dalam penanganan retensi plasenta 1)

dr.Diyah Metta Ningrum
dr.H. Risanto Siswosudarmo,SpOG
Bagian Obstetri dan Ginekologi RS dr. Sardjito
Yogyakarta


ABSTRAK

Latar Belakang. Retensi plasenta masih sebagai salah satu penyebab terbesar terjadinya perdarahan post partum dan kematian maternal.
Tujuan. Pemberian sulproston dimaksudkan untuk mengurangi tindakan manual plasenta, sehingga komplikasi akibat tindakan ini dapat dikurangi.
Bahan dan cara. Tinjauan pustaka
Hasil. Terdapat hasil yang signifikan dengan pemberian sulproston dibanding plasebo, yakni 13 dari 24 kasus ( 51,8%) plasenta dilahirkan setelah pemberian sulproston dibanding pada pemberian plasebo hanya 4 dari 26 kasus (17,6%)
Kesimpulan. Sulproston dapat mengurangi tindakan manual placenta sampai 49%.

Kata kunci: retensi plasenta, perdarahan postpartum, sulproston, manual plasenta

Latar belakang

Perdarahan postpartum paling sering diartikan sebagai keadaaan kehilangan darah lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama sesudah kelahiran bayi. Banyak faktor yang mempunyai arti penting dalam menimbulkan terjadinya peradarahan postpartum yang dini maupun lanjut. Penyebab perdarahan postpartum dini adalah atonia uteri atau laserasi jalan lahir. Retensi bagian plasenta atau seluruh plasenta, dapat mengakibatkan keduanya dan merupakan penyebab yang mengakibatkann terjadinya perdarahan paska persalinan dan kematian maternal.
Kala III persalinan didefinisikan sebagai saat keluarnya bayi sampai lahirnya plasenta. Secara fisiologis, pemisahan plasenta dari dinding uterus disebabkan oleh perdarahan kapiler setelah tali pusat berhenti berdenyut, yang diakibatkan karena kontraksi uterus. Hemostasis ini dipertahakan dengan kontraksi dan retraksi miometrium yang menyebabkan penekanan pembuluh darah dan obliterasi luminal. Plasenta kemudian secara ekspulsi keluar melalui vagina. Terdapat 4 tanda terlepasnya plasenta dari uterus; uterus berbentuk globular, mengecil, terdapat darah yang mengalir dan tali pusat memanjang. Salah satu tanda ini harus ada pada 5 menit pertama setelah lahirnya bayi. Biasanya kala III ini memakan waktu 10 menit bila dilakukan manajemen kala III aktif. Manajemem kala III aktif diartikan sebagai penggunaan obat-obatan uterotonika, pengkleman tali pusat sesegera mungkin, serta melahirkan plasenta segera setelah bayi lahir. 1
Lazimnya, oksitosin dan preparat ergot telah lama digunakan sebagai uterotonika untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum. Hanya saja ditemukan ketidakstabilan oksitosin dalam suhu yang tinggi, sehingga mudah rusak, sedangkan preparat ergot menimbulkan efek samping seperti muntah, nausea dan meningkatkan tekanan darah. 1,2
Preparat prostaglandin memiliki efek uterotonika yang sangat kuat, dan efek kerja obat ini sering digunakan sebagai induksi dalam kehamilan. Preparat ini tidak menimbulkan efek hipertensi sehingga dapat digunakan bagi pasien dengan hipertensi.1


Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui efek sulproston dalam mengurangi tindakan manual plasenta terhadap retensi plasenta, sehingga komplikasi dari manual plasenta seperti terjadinya infeksi saluran genitalia dan perdarahan dapat dihindarkan.

Manajemen
Definisi retensi plasenta (WHO 1990) adalah apabila plasenta tidak dilahirkan 1 jam setelah kelahiran bayi. Retensi plasenta merupakan komplikasi kala III yang dapat mengancam nyawa ibu bila tidak segera ditangani. Manajemen standar yang dilakukan adalah dengan melahirkan plasenta secara manual, dengan cara memasukkan tangan penolong melewati vagina kedalam rahim dengan general atau regional anastesia. Tindakan ini juga memiliki efek samping yakni perdarahan, infeksi dan trauma alat genitalia. Alternatif prosedur nonoperatif pernah dilaporkan yakni injeksi larutan saline 0,9% plus oksitosin atau prostaglandin melalui vena umbilikalis juga dapat mengurangi dilakukannya tindakan melahirkan plasenta secara manual.3
Sulproston merupakan turunan sinetik dari prostaglandin–E2 yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus. Biasanya preparat ini digunakan untuk terminasi kehamilan trimester kedua dan ketiga dan juga digunakan untuk mengatasi terjadinya atonia uteri pasca persalinan. Efek samping obat ini adalah terjadinya hipotensi atau hipertensi dan spasme arteri koronaria. 3
Indikasi bagi pemberian sulproston adalah pada pasien-pasien pasca melahirkan yang telah mendapatkan penanganan manajemen kala III aktif, tetapi dalam 60 menit setelah kelahiran bayi plasenta belum lahir, atau terjadi perdarahan lebih dari 500 ml. 3
Kontraindikasi pemberian sulproston adalah umur penderita kurang dari 18 tahun atau lebih dari 40 tahun, umur kehamilan kurang dari 28 minggu, terdapat riwayat penyakit kardiovaskuler, terjadi perdarahan lebih dari 1000 ml, pengurangan tekanan darah diastolik lebih dari 20 mmHG, takikardi lebih dari 120 dpm, adanya infeksi ginekologis, penderita dengan riwayat asma, bronkitis, epilepsi dan sakit jantung.


Cara pemberian
Beekhuzein dan kawan-kawan melaporkan pemberian sulproston dengan dosis 250 ug ke dalam larutan infus secara intra vena dilakukan selama 30 menit. Selama pemberian tersebut dilakukan traksi tali pusat terkendali setiap 10 menit. Pemberian obat harus segera dihentikan apabila plasenta telah keluar. Jika plasenta tetap tidak keluar setelah 30 menit sulproston diberikan atau terjadi perdarahan lebih dari 1500 ml maka segera lakukan tindakan manual plasenta. Perlu diperhatikan, bahwa kehilangan darah bukan dihitung setelah terapi sulproston diberikan, tetapi setelah bayi dilahirkan, atau bila pasien ini pasien rujukan perlu ditanyakan jumlah perdarahan yang terjadi sebelum ia di rujuk.
Dari penelitian Bekhuizen dan kawan-kawan yang melibatkan 103 subyek penelitian, didapatkan hasil bahwa sebanyak 49% pasien dengan retensi plasenta berhasil diterapi tanpa menggunakan tindakan manual plasenta.

variabel Tanpa manual plasenta Kehilangan darah (ml)
Sulproston (n=77) 38 (49%) 1062
Placebo (n = 26) 4 (18%) 1450

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa pemberian sulproston dapat mengurangi jumlah perdarahan. Karena perdarahana pada pasien yang memerlukan tindakan manual plasenta lebih banyak daripada yang tidak, maka dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengurangan jumlah perdarahan bukan akibat efek langsung dari sulproston, melainkan efek tidak langsung dengan mencegah terjadinya tindakan manual plasenta. Dosis maksimum sulproston yang diberikan (biasa dipakai di negara asal peneliti yakni Belanda) adalah 500ug dalam 30 menit.

Kesimpulan
1. Pasien dengan retensi plasenta dengan pemberian 250ug sulfrostone intravena selama 30 menit dapat mengurangi dilakukannya tindakan manual plasenta sehingga jumlah perdarahan dapat dikurangi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis dan regimen prostaglandin lainnya untuk penanganan retensi plasenta.

Tinjauan Pustaka
1. Bergel,Carolli,2001: Umbilical vein injection for management of retained placenta, the Cochrane database, www. mrw.interscience.willey.com
2. gulmezoglu, et all, 2004 : Prostaglandin for prevention of postpartum haemorrhage, the Cochrane database, www.mrw.intersciense.willey.com
3. Beekhuzien,MD, et all, 2006, Sulprostone reduces the need for the manual removal of the placenta in patient with retained placenta : A randomized controlled trial, www. AJOG.com
4. department of reproductive helath and research, 2000, Mnaging Complication in pregnancy and childbirth, WHO