WELCOME!

Selamat datang para pengunjung , semoga blog ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi, dan ini sebagai parameter saya untuk terus belajar menulis dan menulis

Sabtu, 06 Februari 2010

endometriosis

ENDOMETRIOSIS : FARMAKOLOGI TERAPI SAAT INI DAN AKAN DATANG


Pendahuluan

Endometriosis terjadi sekitar 5-10% pada populasi wanita usia reproduktif di Amerika Serikat. Penyakit ini ditandai dengan adanya jaringan yang menyerupai endometrium di luar rongga rahim (jaringan endometrium ektopik). Endometriosis biasa dijumpai pada pelvis, tapi lesi di organ ekstrapelvis juga pernah dilaporkan (seperti di paru, otak, kulit dan genital eksterna).
Tiga tipe lesi endometriosis pada pelvis adalah: implan endometriosis peritoneum, deep infiltrating (adenomyomatous) disease, dan kista endometriosis ovarium ( endometrioma). Berbagai derajat keparahan endometriosis mulai dari yang ringan seperti bercak pada implan peritoneal sampai yang terparah yang melibatkan kedua ovarium dengan deep infiltrating lesion dan perlengketan hebat. Walaupun penyakit ini kadang asimtomatik, endometriosis sering dihubungkan dengan nyeri yang hebat dan infertil.
Berbagai opsi penatalaksanaan telah ada, dan pilihan tergantung pada berbagai faktor seperti umur, status fertilitas, riwayat menstruasi dan gejala mengganggu yang ada serta derajat keparahan.

Patofisiologi
Beragam postulat mengenai patogenesis endometriosis berusaha menerangkan mekanisme terjadinya endometriosis, namun patogenesis endometriosis secara pasti masih belum dipahami secara jelas. Menurut Amer (2008) mengatakan masing masing tipe endometriosis memiliki sebab yang berbeda ( sebab multifaktorial). Misalnya, peritoneal endometriosis dijelaskan dengan model menstruasi retrograde, ovarian endometriosis merupakan hasil dari metaplasia sel - sel coelomik, endometriosis rektovaginal dapat dijelaskan dengan teori sisa duktus mulleri atau vide infra ( endometriosis disease model).

Selain itu, Bulun (2009) menjelaskan mekanisme endometriosis yang dihubungkan dengan patogenesis steroid secara selular dan molekular. Dalam pengamatannya, fungsi hormon ovarium, estrogen dan progesteron, memainkan peranan penting dalam pertumbuhan endometriosis. Pada manusia dan beberapa hewan primata, estrogen menstimulasi jaringan endometriosis, dimana inhibitor aromatase yang memblokade bentuk estrogen dalam hal ini menguntungkan, sebagai antiprogestin, pada pasien endometriosis. Tingkatan reseptor terkecil bagi estrogen dan progesteron masih membingungkan antara jaringan endometrium dan jaringan endometriosis. Secara biologi, sejumlah progesteron dan estrogen akan memproduksi jaringan endometriosis , melalui aktivasi abnormal proses steroidogenesis yang melibatkan aromatase.

Retrogade Menstruation dan teori implantasi ( teori Sampson)
Sejak dicetuskan oleh Sampson pada tahun 1920, model retrograde menstruation merupakan teori yang paling luas diterima dalam menjelaskan pertumbuhan endometriosis. Sampson mengajukan teorinya berdasarkan pengamatannya selama melakukan pembedahan pelvis, seperti darah menstruasi terdapat di ostium tuba pada wanita yang menstruasi. Jaringan endometrium juga dideteksi dalam tuba falopi yang diangkat saat histerektomi. Refluks jaringan endometrium diperkirakan berimplantasi pada permukaan peritoneum dan ovarium. Hal ini dapat terjadi pada 80% wanita yang menstruasi, namun tidak menjadikan semuanya menderita endometriosis. Unuk menjelaskan ketidaksesuaian ini, penganut teori ini berhipotesis bahwa endometriosis terjadi pada wanita yang memiliki gangguan sistem imunitas seperti gangguan yang tidak dapat mengidentifikasi dan menghancurkan sel endometrium yang berada pada kavum peritoneum. Teori ini mendapat bantahan dengan alasan hal ini tidak mungkin karena sistem imun tidak dikerahkan untuk menyerang sel endometrium, yang merupakan self-antigen. Fakta lain adalah endometriosis dapat terjadi setelah ligasi tuba yang kambuh setelah pembedahan atau de novo.

Metaplasia coelomic (teori Meyer) dan teori induksi
Teori Meyer berdasarkan fakta bahwa sel dari peritoneum, permukaan ovarium dan endometrium berasal dari prekursor embriologikal, yakni sel coelomic. Pada saat pubertas, estrogen yang tinggi menginduksi sel peritoneum maupun permukaan sel telur yang mengalami metaplasia menjadi sel endometrium. Metaplasia ini juga diinduksi oleh substansi yang memproduksi sel endometrium yang terdapat di kavum peritoneum akibat retrograde menstruation. Teori ini tidak didukung bukti ilmiah yang kuat. Penelitian belum bisa menunjukkan sel-sel peritoneum mampu berdiferensiasi menjadi sel – sel yang mirip endometrium. Metaplasia merupakan proses yang berhubungan dengan umur, yang meningkat seiringnya bertambah usia. Endometriosis terjadi terutama pada usia reproduktif, dengan insidensi tertinggi usia 28 tahun.

Metastasis vaskular dan limfatik (teori Halban)
Teori Halban mengatakan bahwa endometriosis yang terjadi pada organ jauh akibat sel endometrium yang hidup menyebar melalui pembuluh darah dan limfatik. Teori ini menjelaskan kejadian endometriosis yang jarang terjadi di ekstrapelvis, seperti di otak dan paru -paru, tapi tidak menjelaskan lesi pelvik yang biasa terjadi yang mengacu akibat lokasi berdasarkan posisi gravitasi.

Teori penyakit sel endometrium dengan mekanisme seluler
Implantasi superficial kavum peritoneum dianut sebagai temuan fisiologis yang dapat menghilang secara spontan. Deep infiltrating endometriosis dan kista ovarium endometriosis (kista coklat) merupakan lesi patologik yang berasal dari sel - sel yang mengalami mutasi somatik. Mutasi ini dipercaya merupakan hasil dari faktor – faktor lingkungan tertentu seperti polutan dan dioxin. Sel yang abnormal ini kemudian berkembang menjadi tumor jinak yang terdiri dari glandula endometrium dan stroma.
Terdapat perbedaan secara molekular yang jelas antara jaringan endometriosis dengan endometrium, seperti overproduksi estrogen, prostaglandin dan sitokin pada jaringan endometriosis (gambar 1) yang diterangkan oleh Bulun dkk (2009). Bentuk yang sulit dipisahkan pada kelainan ini juga terjadi pada endometrium wanita dengan endometriosis dibanding endometrium wanita normal. Ekspresi gen membentuk endometrium wanita dengan endometriosis sebanding dengan endometrium dari wanita yang normal mengungkapkan kandidat gen yang berhubungan dengan kegagalan implantasi, infertilitas dan resistensi progesteron.

Inflamasi, sebagai tanda dari jaringan endometriosis, dihubungkan dengan overproduksi prostaglandin, metalloproteinase, sitokin dan kemokin. Peningkatan kadar sitokin pada inflamasi akut seperti interleukin-1β, interleukin 6, dan tumor nekrosis faktor memungkinkan peningkatan adesi dari luapan fragmen jaringan endometrial ke dalam permukaan peritoneum dan proteolitik membrane metalloproteinase lebih jauh menyokong implantasi fragmen tersebut. Monocyte chemoattractant protein 1, interleukin-8, dan RANTES (regulated upon activation normal T-cell expressed and secreted) menarik granulosit, NK sel, dan makrofag yang merupakan tipikal endometriosis. Pengulangan autoregulasi positif feedback memastikan akumulasi sel - sel imun ini, sitokin dan kemokin dalam menegakkan lesi.
Pada pasien dengan endometriosis, respon inflamasi dan imun, angiogenesis dan apoptosis mengubah fungsi penyokong kehidupan sel dan mengisi ulang jaringan endometriosis. Proses dasar patologi ini tergantung pada estrogen dan progesteron. Bentuk berlebihan dari estrogen dan prostaglandin dan perkembangan resistensi progesteron memiliki poin klinis yang penting untuk penelitian karena target terapi dari aromatase ada dalam jalur biosintesis estrogen, 9 mengurangi nyeri pelvik atau secara laparoskopi terlihat jaringan endometriosis atau kombinasi keduanya. Tiga target penting ini telah diketahui dengan marker epigenetik spesifik (hypomethylation) yang menyebabkan overekspresi dari reseptor terkecil dari SF1 (steroidogenif factor) dan estrogen reseptor β.

Pada gambar diatas , Panel A menerangkan jaringan endometrium pada wanita normal, dengan aktivitas enzim COX2 dan progesterone E2 (PGE2) rendah. Estrogen tidak diproduksi secara lokal, yang merupakan akibat tidak adanya aktivitas aromatase. Selama fase luteal, enzim 17β hydroxysteroid dehydrogenase 2 (HSD17B2) mengkonversi estradiol secara biologis lebih poten menjadi estron yang merupakan estrogen dengan potensi yang lemah. Panel B, menjelaskan dinding endometrium pada wanita endometriosis, tersapat peningkatan aktivitas COX2 dan aktivitas aromatase dapat dideteksi. Pada panel C, yang menjelaskan jaringan ektopik endometrium, terdapat peningkatan besar –besaran aktivitas COX2 dan kadar aromatase. Peningkatan bentuk PGE2 dalam endometrium dan jaringan endometriosis dapat menyebabkan nyeri menstruasi dan nyeri pelvic kronis. Kadar estradiol di jaringan sudah tentu tinggi, karena estradiol di overproduksi oleh aromatase dan tidak dimetabolisme akibat tidaka adanya aktivitas HSD17B2.

Bentuk estrogen pada endometriosis
Estrogen memainkan peranan penting dalam endometriosis. Produksi estrogen ini dihambat oleh GnRh analog, kontrasepsi oral, progestin, dan aromatase inhibitor yang mengurangi penyakit di pelvis dan nyeri (gambar 2). STAR memulai langkah awal dari bentuk estrogen ( misal masuknya kolesterol sitosolik ke dalam mitokondria). Kemudian, kelima enzim ini ( STAR, sccc, HSD3B2, 17-hydrolyase-17-20-lyase) mengubah kolesterol menjadi estradiol yang biologis aktif.

Panel A memperlihatkan 3 sumber penghasil estradiol, yang merupakan jenis estrogen aktif, pada jaringan endometriosis. Sumber pertama adalah FSH dan LH, yang menginduksi gen– gen steroidogenik, termasuk aromatase, untuk mensintesis estradiol. Sintesis estradiol di ovarium dapat dihambat melalui supresi FSH dan LH oleh GnRH analog, pil kontrasepsi, ataupun progestin. Sumber kedua estrogen adalah estradiol yang dihasilkan oleh aktifitas aromatisasi di lemak dan kulit. Sumber ketiga estradiol adalah produksi local di jaringan endometriosis. Aromatase inhibitor di jaringan perifer (lemak dan kulit) dan jaringan endometriosis menghentikan biosintesis estradiol dan juga sebagai terapi endometriosis.

Pada panel B, kadar estradiol lokal dan prostaglandin E2 (PGE2) yang tinggi dipertahankan oleh mekanisme autoregulatory positive-feedback (dalam gambar 2 diindakasikan dengan tanda plus (+) ) yang melibatkan reseptor nukleus (steroidogenic factor 1 (SF1) dan reseptor estrogen β (ER- β), enzymatic pathways, cytokines, dan growth factors.

Histopatologi
Terdapat 3 tipe patologi yang dikenali
1. Endometriosis superficial (endometriosis bebas)
a. Peritoneal
Terdapat 2 tipe implantasi peritoneum endometrium yakni, lesi sub mesothelial dan intraepithelial. Kedua tipe ini mengandung unsure glandula dan stroma, dan terpengaruh oleh perubahan hormonal yang berelasi dengan siklus menstruasi, hal ini menunjukkan perubahan siklik yang mirip (tapi tidak identik) dengan sel endometrium normal. Lesi endometrium yang sembuh ditandai dengan adanya dilatasi glandula, ditopang oleh sel stroma, dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa. Tipe lesi ini tidak terpengaruh oleh perubahan hormon.

b. Ovarium
Lesi superficial ovarium mirip dengan lesi di peritoneal, dan dapat terjadi di semua tempat di ovarium. Lesi hemoragik yang biasa didapati dihubungkan dengan bentuk berbagai keparahana adesi peri-ovarian, biasanya terdapat pada posterior ovarium.

2. Deep infiltrating (adenomatous) endometriosis (endometriosis yang terperangkap)
Ditandai dengan jaringan fibromuskular dengan glandular endometrium yang jarang dan jaringan stroma ( mirip dengan adenomyosis) tanpa epitel permukaan. Tidak seperti lesi peritoneal, deep endometriosis tidak memperlihatkan perubahan yang berarti selama siklus menstruasi. Nodul nodul ini khas berada di ruang rektovaginal dan melibatkan ligament sakrouterina, dinding posterior vagina dan dinding anterior rectum. Bisa juga meluas sampai ke lateral dan mempengaruhi ureter.

3. Ovarian endometrioma
Merupakan kista yang dibatasi jaringan endometrium dan berwarna coklat gelap atau cairan kecoklatan yang merupakan akibat dari perdarahan kronis yang berulang dari implantasi sel endometrium. Pada endometrioma yang lama, jaringan endometrium digantikan oleh jaringan fibrosa. Bahkan, semua jaringan glandular endometrium menghilang, tanpa meninggalkan bekas histopatologis endometriosis. Pada kebanyakan kasus, dinding kista merupakan dinding yang fibrotik dengan fokus hipervaskularisasi dan lesi perdarahan endometrium.
Manajemen terapetik endometriosis
Berbagai opsi manajemen untuk endometriosis telah tersedia yakni: analgesia, terapi hormon, pembedahan konservatif atau radikal. Walaupun efektif dalam mengontrol penyakit dan menyembuhkan nyeri, terapi hormone biasanya menghasilkan efek jangka pendek yang menyurut bila terapi dihentikan. Terapi medis tidak membantu untuk masalah infertilitas pasien, dan kebanyakan obat memiliki efek kontrasepsi. Deep infiltrating endometriosis dan endometrioma tidak berespon terhadap terapi hormone. Kerugian lain dari terapi obat-obatan adalah efek sampingnya yang signifikan. Terapi hormone digunakan untuk jangka pendek atau menengah dalam rangka mengurangi nyeri. Dibawah terdapat algoritme dari Allistair (2001).


Terapi bedah lebih merupakan terapi definitif yang dapat mencapai efek jangka panjang dalam mengontrol nyeri dan terbukti meningkatkan fertilitas. Pasien yang diduga berdasarkan klinis memiliki endometriosis, dibolehkan menggunakan terapi bedah untuk menghilangkan lesi endometriosis derajat ringan, sedang atau berat. Hal ini juga diperbolehkan sebagai penunjang diagnostik yang akurat untuk endometriosis yang berat, yang membantu untuk rencana pembedahan selanjutnya.

Namun, pengambilan keputusan untuk manajemen ini, baik secara farmakologis maupun pembedahan, masih sering menjadi perdebatan. Pada pihak yang menganut keyakinan pembedahan mengatakan: terapi definitive endometriosis adalah mudah, yakni eradikasi secara pembedahan dan keberhasilan terapi pembedahan ditentukan dengan penggambaran seberapa parah penyakitnya, dan jika ada, berapa banyak sisanya setelah intervensi bedah. Di lain pihak, perlu dipertimbangkan bahwa seiring dengan meningkatnya kejadian endometriosis, fokus terapi lebih diutamakan pada outcome yang penting di pihak pasien dan patient oriented outcome adalah tak ada nyeri dan keberhasilan kehamilan,sehingga perlu dipertimbangkan keinginan bagi wanita yang menderita endometriosis dalam menjalani kehidupannya. Pada tulisan kali ini lebih membahas kearah terapi farmakologi.

Pemberian progestin dan kombinasi oral progestin
Telah diketahui melalui berbagai penelitian bahwa hormone terapi bukan merupakan suatu bentuk sitoreduktif bagi endometriosis. Perubahan ovulasi dan fisiologi kadar estrogen, endometrium baik eutopik maupun ektopik, menghasilkan akitivitas metabolik. Karena terapi farmakologinya adalah untuk meringankan gejalanya, dan kemungkinan kambuh juga ada, sehingga pemebrian dalam waktu lama perlu mendapatkan perhatian. Pengobatan endometriosis bisa berjalan tahunan, dan penggunaan obat tersebut harus dihentikan setelah beberapa bulan oleh karena intolerabilitasnya, efek samping yang berat dari obat tersebut, atau harga yang mahal yang tidak menguntungkan bagi penderita endometriosis. Sifat progestin dan pil kontrasepsi kombinasi (PKK) dipandang merupakan pilihan yang ideal. Berikut data obat yang digunakan di pasaran di Indonesia.

Tabel 1. Berbagai opsi terapi obat pada wanita dengan endometriosis simptomatik yang tidak ingin hamil.

Terapi lini pertama
Endometriosis peritoneal dan kista endometrioma ≤ 3 cm
• Kombinasi estrogen – progesterone digunakan secara siklik atau kontinyu* (oral, intravaginal, atau transdermal)
Lesi rektovaginal
• Noretistherone acetate, 2,5 mg/hari peroral secara kontinyu)

Terapi lini kedua
• Depo GnrH analog ditambah terapi add-back (contoh tibolone 2,5 mg/hari peroral)
• Progestin alternatif (missal medroxyprogesterone acetate, desogestrel, cyproterone acetate)

Terapi lini ketiga
• Danazol dosis rendah (missal 200 mg/hari, oral atau intravaginal)
• Gestrinone, 2,5 mg 2x seminggu peroral

Kondisi khusus
Wanita multipara dengan dismenorea sebagai keluhan utama
• Levonorgestrel – realesing intra uterine device
Wanita yang telah dihisterektomi dengan sisa - sisa endometriosis
• Depo medroksiprogesteron asetat ( 150 mg intramuscular setiap 3 – 6 bulan).
*diistirahatkan selama 7 hari dianjurkan pada kasus terjadinya breakthrough bleeding selama penggunaan kontinyu.

Tabel 2. Beberapa produk obat hormon yang digunakan di Indonesia
Nama Obat Produsen Kandungan
Angeliq Bayer schering Estradiol 1 mg, drosperinone 2mg
Anore Kalbe Farma Norethisterone 5 mg
Azol Merck Danazol 200 mcg
Cerazette Organon Desogestrel tab 75 mcg
Climen 28 Bayer schering 16 tablet putih: estradiol valerate 2 mg
12 tab pink : estradiol valerate 2 mg, cyproterone acetate 1 mg
Cyclofem Tunggal idaman abadi Medroxyprogesterone acetat 50mg,estradiol cypiona 10 mg
Cyclogynon Tunggal idaman abadi Ethynil estradiol 0,03 mg, lovonorgestrel 0,15 mg
Cyclo progynova Bayer Schering 11 tab : estradiol valerate 2mg
10 tab: estradiol valerate 2 mg, norgestrel 0,5 mg
Cygest Actavis Progesterone 200 mg dan 400 mg (pessari)
Danocrine Sanovi Aventis Danazol 200 mcg
Diane 35 Bayer Cyproterone acetate 2 mg, ethynil estradiol 0,035 mg.
Duphaston Solvay Pharma Dydrogesterone 10 mg
Endometril Organon Lynestrenol 5 mg
Estreva Merck Estradiol hemihydrates 0,1% (gel)
Excluton Organon lynestrenol0,5 mg
Gravynon Kimia Farma Allylestrenol 5 mg
Gynaecosid Phapros Methyloestrenolone 5 mg, methyloestradiol 0,3 mg
Gynera Bayer Gestodene 75 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
Lestron Bernofarm Allylestrenol 5 mg
Livial Organon Steroid tibolone 2,5 mg
Lutenyl Merck Nomegestrol acetate 5 mg
Lynoral Organon Ethynylestradiol 50 mcg
Marvelon 28 Organon Desogestrel 150 mcg, ethynilestradiol 30 mcg.
Mercilon 28 Organon Desogestrel 150 mcg, ethynilestradiol 20 mcg
Microdiol Kimia farma Norgestrel 0,15 mg, ethynilestradiol 0,03 mg.
Microgynon Bayer Levonergestrel 150 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
Microlut Bayer Levonorgestrel 0,03 mg
Mirena Bayer Levonergestrel 52 mg releasing intra uterine device
Norelut Dexa medica Norethisterone 5 mg
Ovestin Organon Estriol 1 mg
Planak Fahrenheit Levonorgestrel 0,15 mg, ethynilestradiol 0,03 mg
Planibu Fahrenheit Medroxyprogesterone acetate 50 mg
Postinor -2 Tunggal idaman abadi Levonorgestrel 0,75 mg
Preabor Caprifarmindo Allylestrenol 5 mg
Pregnolin Dexa medica Allylestrenol 5 mg
Pregtenol Fahrenheit Allylestrenol 5 mg
Premaston Kalbe farma Allylestrenol 5 mg
Prestrenol Interbat Allylestrenol 5 mg
Primolut N Bayer Allylestrenol 5 mg
Progynova 28 Bayer Estradiol valerate 1 mg
Provera Pfizer Medroxyprogesterone acetate 5mg, 10 mg, 100 mg.
Regumen Caprifarmindo Norethisterone 5 mg
Renodiol Caprifarmindo Methylestrenolone 5 mg, methylestradiol 0,3 mg
Triclofem Tunggal idaman abadi Medroxyprogesterone acetat 150 mg
Trinordiol 28 Wyeth – ayerst 6 tab coklat: levonorgestrel 50 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
5 tab putih: levonorgestrel 75 mcg, ethynilestradiol 40 mcg
10 tab kuning: levonorgestrel 125 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
Triquilarded Bayer 6 tab coklat: levonorgestrel 50 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
5 tab putih: levonorgestrel 75 mcg, ethynilestradiol 40 mcg
10 tab kuning: levonorgestrel 125 mcg, ethynilestradiol 30 mcg
Yasmin Bayer Drosperinone 3 mg, ethynilestradiol0,03 mg


Pemberian melalui oral

Pil kontrasepsi
Pil kontrasepsi sejak lama digunakan oleh ahli ginekologi untuk mengobati endometriosis dengan keluhan utama nyeri pelvis dan dismenorea, namun masih sedikit bukti klinis dari penelitian yang tersedia. Pada tahun 1990an , GnRH analog dipertimbangkan sebagai terapi standar untuk terapi farmakologi endometriosis. Kemudian untuk melihat efikasinya, dilakukan penelitian perbandingan pil kontrasepsi kombinansi monofasik selama 6 bulan (desogestrel 0,15 mg dan atinil estradiol 0,02 mg, 28 pasien) diberikan secara siklik dibandingkan dengan depo goserelin (3,6 mg subkutan setiap 28 hari, 29 pasien). Hasil yang dinilai adalah disparenia pada kedua kelompok, dan terbukti goserelin lebih superior dibanding pil kontrasepsi. Nyeri di luar menstruasi yang hilang adalah sama pada kedua perlakuan. Pada wanita yang menerima pil kontrasepsi kombinasi merasakan pengurangan nyeri yang signifikan. Dengan tetap memikirkan efek samping yang lebih jauh, perbandingan dengan GnRH tidak dilanjutkan karena mengakibatkan amenorea sekunder sampai dengan hipoestrogen pada kelompok tersebut. Gejala menetap selama 6 bulan setelah terapi dihentikan.
Parazzini dan kawan kawan meneliti apakah GnRH analog (triptorelin 3,75mg i.m setiap 28 hari, 47 pasien) yang diberikan selama 4 bulan sebelum dimulainya pemberian pil kontrasepsi kombinasi (PKK) akan memberikan hasil yang menggembirakan dibanding penggunaan langsung kombinasi estrogen – progestin (gestodene 0,75 mg dan etinil estradiol 0,03 mg, 55 pasien) selama 12 bulan. Satu tahun setelah randomisasi, kedua perlakuan membawa hasil yang sama untuk mengurangi nyeri pelvis pada wanita dengan endometriosis.Tidak ada data yang tersedia untuk mendukung keyakinan bahwa kombinasi estrogen dan progesterone dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua. Bila diindikasikan pemberian jangka panjang, PKK diresepkan tanpa perlu dipersiapkan dulu dengan GnRH analog.
Norethisterone acetat (NETA)
Merupakan progestin kuat turunan 19-nortestosterone. Regimen ini telah terbukti efektif melalui penelitian Muneyyiri-Delale dan Karacan pada 52 wanita endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi. NETA dimulai pada saat siklus menstruasi dengan dosis harian 5 mg, kemudian dinaikkan 2,5 mg sampai mencapai dosis 20 mg/ hari hingga amenorea terjadi. Terapi dilanjutkan selama 6 bulan sampai 1 tahun. Dismenorea berkurang pada 48/52 (92%) subyek dan nyeri pelvic kronis pada 25/28 (89%) subyek. Pada akhir penelitian, 49/52 (94%) tidak menderita gejala sama sekali. Perdarahan breakthrough dialamai 30 (58%) pasien, karena 4 orang drop out. Satu pasien tersiksa oleh karena nyeri payudara, dan 3 pasien karena efeknya gagal. Sehingga, terapi sukses pada 44/52(84%) pasien yang direkruit.
NETA memiliki kelebihan bila digunakan untuk terapi jangka panjang bagi endometriosis. Progestin ini mengontrol perdarahan uterus dibanding komponen lain, memiliki efek yang positif terhadap metabolisme kalsium dengan memproduksi kenaikan densitas mineral tulang dibanding alendronate, dan tidak memiliki efek negative profil lipoprotein pada dosis yang rendah.

Cyproterone acetat (CPA)
Merupakan turunan 17-hydroxyprogesterone dengan antiandrogenik dan anti gonadotropinik, yang digunakan pertama kali oleh Fedele dkk untuk mengobati endometriosis dengan dosis 27 mg/hari. Selanjutnya, Moran dkk mengevaluasi penggunaan 6 bulan CPA dengan dosis yang dikurangi (10 mg/hari selama 20 hari diikuti 10 hari tanpa terapi) pada 7 wanita yang menderita endometrosis ringan-berat. Dismenorea sembuh pada semua pasien, dengan oligomenorea dan spoting . Laparoskopi ulangan pada akhir terapi memperlihatkan lesi minimal pada 5 wanita dan menghilang pada 2 wanita.

Pemberian intramuscular dan subkutan
Depo medroksiprogesteron (DMPA) asetat digunakan secara luas untuk kontrasepsi dan pemberiannya dosis tunggal 150 mg intramuscular setiap 3 bulan. Peningkatan risiko kanker payudara pada pengguna DMPA dibanding PKK tidak berbeda, namun pada pemakaian DMPA yang lama maka demineralisasi tulang akibat hipoestrogen akan terjadi.
Efikasi DMPA sebagai terapi endometriosis diuji oleh 2 penelitian acak yang meneliti pemberian DMPA subcutan 104 mg (DMPA-SC 104) dibanding leuprolide acetate (non-inferiority) 11,25 mg. Kedua obat diinjeksikan selama siklus menstruasi dan 3 bulan setelah penelitian 6 bulan. Penelitian yang melibatkan 300 wanita di Eropa, Asia, Amerika Latin dan Selandia Baru dan penelitian lain di KAnada dan AS melibatkan 274 wanita melaporkan bahwa penderita DMPA-SC 104 sama efeknya dibanding leuprolide dalam mengatasi nyeri, dievaluasi pada akhir terapi dan 12 bulan follow up. Kelompok DMPA-SC 104 memperlihatkan rendahnya kehilangan demineralisasi tulang dibanding leuprolide. Densitas tulang kembali keawal seperti sebelum perlakuan 12 bulan setelah perlakuan pada kelompok progestin disbanding kelompok GnRH analog.
DMPA efektif, aman, dan merupakan alternative secara ekonomis dalam mengatasi endometriosis. Namun,patut dipertimbangkan pula bagi penerimanya, sehingga harus selektif. Kenyataannya, penundaan ovulasi yang terlalu lama merupakan kontra indikasi pemberian DMPA yang menginginkan anak. Efek sampingnya adalah breaktrough bleeding yang lama, berulang dan kadang memerlukan medikasi.

Jalur intra uterine
Levonergestrel merupakan progestin yang poten dengan aktivitas androgenic dan anti estrogen pada endometrium. Intra uterine device yang melepaskan 20 ug/hari levonergestrel (lng-IUD), dapat menyebabkan amenorea dan menghilangkan nyeri. Efek Lng-IUD adalah di endometrium dengan menjadikan endometrium inaktif dan atrofi, tanpa menyebabkan supresi dari ovulasi. Lng-IUD telah digunakan pada penderita endometriosis peritoneal, ovarium superficial, rektovaginal dan lesi endometriosis kambuhan serta digunakan pula pada paska operasi. Keuntungan dari penggunaannya adalah efektif, sedikit memberi efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien pada terapi jangka panjang.
Pemberian levonorgestrel lewat jalur intra uterin memungkinkan distribusi langsung ke jaringan pelvis yang berakibat konsentrasinya lebih besar daripada kadarnya di plasma. Hal ini dapat menjadikannya lebih menguntungkan dengan efek yang minimal, disamping itu juga tidak melewati metabolism di hati seperti obat-obatan oral lainnya. Dibandingkan dosis pemberiannya, maka konsekuensi metabolik Lng-IUD lebih sedikit dibanding metode kontrasepsi lainnya. Walaupun demikian, efek sekunder dari absobrsi levonogestrel perlu diperhatikan. Lockhat dkk melaporkan bahwa kadar levonogestrel tinggi antara 300-400 pg/mL dalam beberapa bulan setelah insersi Lng-IUD dan hal ini diduga karena absorbs progestin yang cepat oleh jaringan pembuluh darah endometrium.

Terapi sulih hormon
Terapi sulih hormon menjadi suatu alternatif bagi pasien muda yang menderita endometriosis dan telah dilakukan pembersihan rongga pelviknya dan menginginkan menopause dini. Soliman dan Hillard menyatakan bahwa tidak ada ruginya memberikan terapi sulih hormon bagi pasien dengan gejala hipoestrogen. Menghindari pemberian estrogen saja dan menggunakan preparat kombinasi atau tibolone sangat direkomendasikan. Tibolon merupakan pilihan optimal sebagai terapi penopang pada pasien yang menerima terapi GnRH analog.

GnRH Analog
Sudah tidak diargukan lagi bahwa terapi GnRH analog merupakan terapi yan teruji mampu mereduksi semua gejala nyeri; disparenia, dismenorea,dan nyeri siklik di luar haid. Namun meta analysis Cochrane menyebutkan bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak berbeda secara statistik antara GnRH agonis dibanding obat lain (danazol, PKK, gestrinon) untuk terapi endometriosis. Pemberian GnRH agonis tidak dapat diperpanjang melebihi 6 bulan oleh karena efek hipoestrogennya yang merugikan, seperti misalnya penurunan densitas mineral tulang, hot flushes, penurunan libido, vaginal atrofi, insomnia dan emosi yang labil. GnRH tidak menyembuhkan kausa endometriosis, dan gejala nyeri juga dapat kambuh kembali. Hal ini telah dilaporkan bahwa dalam 5 tahun setelah pemberiannya, angka kekambuhan 53% wanita dengan endometriosis dan 73% diantaranya dengan derajat penyakit yang parah.
Walaupun telah ada usaha untuk meningkatkan keefektifan GnRH dengan pemberian terapi penyokong untuk menghindari kehilangan akibat defisiensi estrogen, namun data yang ada masih sedikit. Terapi penyokong diberikan dengan regimen estrogen dosis rendah dan progestin yang secara siklik diberikan di awalnya. Cochrane mengatakan tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian GnRH agonis dengan terapi penyokong dibandingkan pemberian medikasi yang lain untuk terapi endometriosis.
Pada penangan infertilitas dengan wanita endometriosis, Cochrane menyatakan bahwa GnRH agonis tidak berbeda dalam memberikan angka keberhasilan yang tinggi dibanding danazol. Dan bila dibandingkan pemberian PKK, hasilnya juga tidak signifikan dalam memberikan keberhsilan kehamilan. Beberapa preparat GnRH yang ada di Indonesia adalah leuprorelin (Tapros, Lectrum, Endrolin), goserelin (Zoladex).


Alternatif dan Pengobatan Dalam Penelitian
Beberapa agen potensial yang diteliti saat ini untuk mengobati endometriosis adalah inhibitor aromatase, agen antiangiogenik, TNFα blockers, inhibitor matriks metalloproteinase (MMP), selective progesterone receptor modulator (SPRMs) dan selective estrogen receptor modulator (SERMs)

Aromatase Inhibitor
Aromatase merupakan enzim sitokrom P450 yang mengkatalisis biosintesis estrogen, dalam hal ini androgen menjadi estrogen. Enzim ini dihasilkan oleh banyak sel seperti sel granulose, sinsitiotropoblas, sel adipose dan sel fibroblast yang terdapat di kulit. Dasar fisiologis untuk terapi endometriosis dengan aromatase inhibitor adalah ketergantungan estrogen terhadap endometriosis. Aromatase P450 mengubah androstenedione dan testosterone menjadi estrone dan estradiol. Keparahan endometriosis menurun oleh karena menopause dan gangguan siklus menstruasi,enzim ini merupakan obat yang baik tidak hanya mengurangi produksi estrogen namun juga hasil akhir dari biosintesis estrogen sehingga penghambatan di level atasnya tidak efektif. Anastrozole (di Indonesia preparatnya Arimidex) dan letrozole, merupakan obat generasi ketiga, adalah yang paling sering digunakan untuk kelompok penelitian acak. Obat ini secara kompetitif mengikat grup heme unit sitokrom p450, yang mengahambat aromatisasi.
Saat ini penelitian mulai mendapat titik terang yang menerangkan pengulangan feedback positif yang melibatkan estradiol(E2) dan prostaglandin (PGE2), yang mengurangi kadar estradiol merupakan suatu terapi yang menarik perhatian. Implantasi endometrium biasanya menghasilkan kadar estradiol dan prostaglandin yang tinggi, dan seperti diketahui bahwa PGE2 merupakan pemicu terkuat untuk terjadinya aktivitas aromatase. Upregulation dari aromatase terlihat dari peningkatan kadar E2, yang mana akan menaikkan aktivitas siklooksigenase (COX-2) yang memproduksi PGE2.
Selain sintesis estradiol ovarium, juga terdapat produksi estradiol diluar itu,meliputi otak, kulit, dan jaringan adipose. Bila inhibitor aromatase dapat menghambat konversi di luar ovarium yang mengubah androgen adrenal menjadi estrogen, mereka tidak dapat secara utuh menghambat produksi ovarium. Selanjutnya, inhibitor araomatase dapat merangsang axis hipotalamus-hipofisi-ovarium (HPO) untuk menghasilkan kadar FSH yang tinggi akibat tidak adanya feedback negative estrogen di hipotalamus dan hipofisis. Sehingga hal ini mengakibatkan peningkatan rekruitmen folikular,hiperstimulasi ovarium, dan kista ovarium. Untuk menghindarai hal ini beberapa peneliti menambahkan GnRH analog pada regimen aromatase inhibitor agar dapat memblok secara utuh dan juga mencegah kenaikan FSH secara reflek dari aksis HPO sebagai akibat dari terapi aromatase inhibitor.
Soysal dkk melaporkan bahwa kombinasi goserelin dengan anastrozole selama 6 bulan mengurangi nyeri lebih lama (24 vs 17 bulan) dibanding pemberian goserelin tunggal. Namun perlu tetap diperhatikan akan terjadinya demineralisasi tulang yang lebih tinggi pada kelompok kombinasi, walaupun setelah 24 bulan terapi densitas tulang nilainya sama.

Obat antiangiogenesis
Jaringan endometrium ektopik memerlukan asupan pembuluh darah untuk hidup subur diluar kavum uteri. Sehingga obat anti angiogenesis , avastin, pada kanker diteliti sebagai terapi untuk endometriosis. Wanita dengan endometriosis cenderung memiliki kadar VEGF-A yang tingi di kavum peritoneumnya. VEGF-A merupakan stimulator yang poten terhadap angiogenesis yang diatur oleh VEGFR2, sebuah reseptor kinase. Reseptor ini berinteraksi dalam hal migrasi, proliferasi dan diferensiasi dari sel endotel yang menginisiasi neovskularisasi dari pembuluh darah yang ada. Peningkatan kadar VEGF-A ini akibat dari tingginya konsentrasi estrogen dan PGE2 pada pasien endometriosis. VEGF juga mengatur siklooksigenase dengan memproduksi PGE2. Selain itu, makrofag yang teraktivsi di peritoneum menghasilkan interleukin-1β yang memproduksi VEGF-A dan sitokin.
Saat ini terapi dengan menggunakan anti angiogenesis pada manusia belum ada. Penelitian baru dilakukan pada tikus . Hull dkk melakukan injeksi dengan jaringan endometrium manusia ke dalam kavum peritoneumnya dan terapi awal diberikan setelah penyuntikan. Setelah 9 hari diberikan injeksi subkutan, kelompok yang diterapi dengan sflt-1, merupakan competitor soluble VEGF-A, memperlihatkan lesi endometrium yang lebih sedikit.

Immunomodulator dan obat anti inflamasi
Terdapat 2 tipe immunomodulator untuk menerapi endometriosis
1. Obat yang mampu meningkatkan imunitas mediator sel (penelitian pada tikus)
Obat-obatan ini antara lain interferon (IFN)-γ-2b , interleukin (IL)-I2 , guanosine analog loxoribine dan acetylcoline nicotinic analoge levamisole. IFN)-γ-2b telah dikenal sebagai agen untuk meningkatkan respon imunitas terhadap hirus hepatitis C. Mekanismenya dengan mengaktivasi NK sel dan sel T-CD8. Loxoribine meningkatkan aktivitas NK sel, proliferasi sel B. Levamisole, sering dipakai sebagai obat antihelmintik, dan diantara kempat agen,efeknya paling lemah.

2. Obat yang mampu mengurangi komponen inflamasi.
Inhibitor COX-2 dapat mengurangi pertumbuhan tumor pada tikus. Agen golongan ini adalah Celecoxib, indometasin, rofecoxib, ibuprofen dan nimesulide
Hanya ada satu peneletian acak yakni penggunaan rofecoxib (25 mg/hari) disbanding placebo yang diberikan selama 6 bulan. Pengurangan nyeri dan disparenia signifikan terjadi pada kelompok rofecoxib, dan tidak ada kekambuhan dibanding placebo 16 % mengalami kekambuhan.

Selective progesterone modulator
Progesteron reseptor (PR) terdiri dari 2 bentuk (A dan B), dihasilkan dari gen tunggal yang menyambung. Keduanya memiliki bentuk hormone steroid yang sama dan ikatan DNA yang sama, namun fungsinya berbeda tergantung tipe selnya. Secara umum PRB merupakan activator transkripsi yang lebih kuat dibanding PRA. Pada kondisi ini, PRA merupakan inaktif transkripsi factor tapi dapat bertindak sebagai penekan pengikat reseptor lain seperti PRB, reseptor estrogen, androgen reseptor, mineralokortikoid reseptor dan reseptor glukokortikoid. Keduanya dihasilkan akibat respon terhadap estrogen pada endometrium manusia sbelum ovulasi, tapi mereka diteka oleh progesterone melalui proses down regulasi selama maturasi endometrium. Efek yang tepat tergantung dari rasio PRA:PRB, yang kenyataannya ablasi selektif pada PRA menghasilkan aktivitas PRB yang lebih besar di dalam endometrium.
Selective progesterone receptor modulator memiliki anatgonis/agonis property dan terdiri dari 3 tipe;
1. Tipe I mencegah atau menipiskan ikatan PR terhadap elemen respon progesterone
2. Tipe II; menyokong pengikatan PR terhadap elemen respon DNA
3. Tipe III; mempengaruhi ikatan PR terhadap elemen respon progesterone dan menghambat transkripsi DNA.
Saat ini baru tipe II yang digunakan sebagai terapi endometriosis, yakni asnoprinil. Dengan 3 dosis (5,10,25 mg/hari) yang diberikan selama 12 minggu pada 130 wanita yang telah dilakukan laparoskopi diagnostik untuk endometriosis. Menariknya ketiga dosis tersebut dapat mengurangi nyeri dan dismenorea dengan efek samping yang ringan.
Kesimpulan
1. Pengobatan terhadap gejala endometriosis diindikasikan pada wanita yang tidak menginginkan anak pada jangka pendek
2. Terapi endometriosis bersifat simptomatik, bukan menyembuhkan kausanya, hanya terapi jangka panjang secara klinis member arti
3. Progestin dan pilkontrasepsi kombinasi memiliki efek anti inflamasi, sama efektifnya dengan regimen hormone lain dan sebaiknya dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama
4. Terapi dengan GnRH analog dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, apabila terapi dengan progestind an pil kontrasepsi gagal.
5. Saat ini, terapi terapi terbaru untuk endometriosis sangat kuat mempengaruhi prosesovulasi dan tidak memberikan manfaat seperti terapi hormone. Komposisinya yang tidak menghambat fungsi ovarium masih perlu penelitian lebih lanjut pada manusia.


Daftar pustaka
1. Vercellini P, et all. Endometriosis: current and future medical therapies. Best practice &Reseaarch Clinical Obstetric and Gynaecology Vol 22. No.2 pp 275-306, 2008
2. Gupta Sajal, et al. Newer Treatment moadalities in endometriosis systematic review. Arch Med Sci 2009:51A:S182-S195
3. Amer Saad. Endometriosis; an review. Obstet gyn and Rep Med 2008;18:5
4. Hughes E, et all. Ovulation for suppression, CochraneDatabase of Systematic Reviews 2007, Issue 3. Art. No.: CD000155. DOI: 10.1002/14651858.CD000155.pub2.
5. Bulun SE.,Endometriosis;an review. N Engl J Med 2009;360:268-7

Tidak ada komentar: